Oleh: Rana Kelana [Menyukai Filsafat, Seni, Agama, Isu-isu Kemanusiaan dan Lingkungan]
Pendidikan adalah fondasi utama dalam pembangunan suatu negara. Paulo Freire, seorang filsuf dan pendidik asal Brasil, dan Tan Malaka, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan teoretisi revolusioner, adalah dua tokoh yang pemikirannya memiliki relevansi yang besar dalam konteks pendidikan Indonesia.
Paulo Freire dikenal dengan teori pendidikan kritisnya yang menekankan pentingnya pendidikan yang berpusat pada pemberdayaan (empowerment). Konsep “pendidikan sebagai praktek pembebasan” yang dikemukakannya menekankan pada partisipasi aktif siswa dalam proses belajar-mengajar. Di Indonesia, konsep ini dapat diterapkan dengan memperkuat partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, membangun lingkungan yang inklusif, dan mendorong kritisisme serta refleksi diri.
Sementara itu, Tan Malaka, dengan pemikiran revolusionernya, menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk membangun kesadaran politik dan sosial. Baginya, pendidikan tidak hanya tentang penguasaan materi, tetapi juga tentang pemahaman akan struktur kekuasaan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Di Indonesia, pemikiran Tan Malaka dapat diterapkan dengan memperkuat pendidikan politik dan kritis, menyediakan akses pendidikan yang merata bagi semua lapisan masyarakat, serta mengintegrasikan nilai-nilai keadilan sosial dalam kurikulum pendidikan.
Dengan membumikan pemikiran Paulo Freire dan Tan Malaka dalam konteks pendidikan Indonesia, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, berdaya saing, dan berorientasi pada keadilan sosial. Hal ini akan membantu menciptakan generasi yang lebih sadar, kritis, dan siap untuk berkontribusi dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pendidikan inklusif yang berorientasi kepada keadilan sosial yang dicita-citakan Tan Malaka harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya mereka. Malaka percaya bahwa pendidikan harus menjadi alat untuk memerangi ketidakadilan sosial dan membebaskan rakyat dari penindasan.
Sementara itu, menurut Paulo Freire, pendidikan inklusif yang berorientasi kepada keadilan sosial harus melibatkan pendekatan pendidikan pembebasan, di mana siswa tidak hanya menerima pengetahuan pasif, tetapi juga diajak untuk berpikir kritis, bertindak, dan berpartisipasi dalam memperjuangkan perubahan sosial yang lebih adil. Freire menekankan pentingnya pendidikan yang berpusat pada pengalaman dan konteks kehidupan siswa, serta menghapuskan hierarki antara pendidik dan yang diajar.
Baik Tan Malaka maupun Paulo Freire sama-sama memiliki pandangan kritis terhadap komersialisasi pendidikan. Mereka berpendapat bahwa komersialisasi pendidikan mengarah pada ketidaksetaraan dalam akses pendidikan dan pemiskinan intelektual. Mereka mendorong negara dan intelektual untuk memperjuangkan pendidikan yang merata, berbasis pada keadilan sosial, dan tidak tergantung pada logika pasar.
Bagi Freire juga Tan Malaka, negara seharusnya berperan aktif dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas untuk semua warga, sementara intelektual harus terlibat dalam upaya memperjuangkan pendidikan yang berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pembebasan manusia. Tabik.
Tinggalkan Komentar